Thursday, 3 June 2010

Tak salah suami membantu isteri

Pertamanya saya ucapkan terimakasih kepada seorang sahabat yang ‘post’kan rencana ini di dalam Facebook beliau. Mungkin tak ramai yang membacanya, samada tak berkaitan atau tak perasan atau tak berminat atau apa jua alasannya. Saya tertarik dengan artikel ini yang secara kebetulannya ia sangat relevan dengan kehidupan peribadi saya. Saya seorang isteri dan ibu yang bekerja dan tambahan pula pada masa artikel ini ditulis saya sedang melanjutkan pengajian. Lantas kehadiran seorang suami yang dapat memahami dan menyelami keadaan saya adalah sesuatu yang sangat berharga. Mari kita baca dulu ya……



Men who help with housework have happier marriages

By FIONA MACRAE
Last updated at 11:05 AM on 14th May 2010

Teamwork: Couples are more likely to stay together if the husbands help with chores around the house

Forget boxes of chocolates and romantic weekends away.

The secret to a happy marriage is to roll up your sleeves and help your wife with the housework.

Research shows that unions in which the men muck in with the chores and childcare are more likely to last the course.

And the more elbow grease a man puts in, the lower the odds of him heading to the divorce courts.

The results of the study of thousands of British couples will be music to the ears of millions of women.

Men, however, are likely to be a little less keen on the idea that they should be taking on their share of 'women's work'.

Researchers from the renowned London School of Economics, normally used to dealing with more weighty academic affairs, have turned their minds to the hoovering and washing up.
They tracked the fortunes of 3,500 married couples who had their first child during one week in 1970 - an age when most women with young children stayed at home.

When the children were five years old, the women were asked about how much their husbands did around the house, including helping with housework, childcare and shopping.

Just over half didn't help at all - or only assisted with one task.

A quarter carried out two tasks, and the remaining quarter did three or four, the journal Feminist Economics reports.

Around 7 per cent of the couples had divorced by the time the child was ten, rising to 20 per cent by the youngster's 16th birthday.

Enlarge
When the two pieces of information were crunched together it became clear that the more a man helped out, the more stable his marriage was.

It showed that although divorce became more common when the mother went out to work, this increase could be kept to a minimum by the father pulling his weight around the house.

Researcher Wendy Sigle-Rushton said: 'The results suggest the risk of divorce among working mothers, while greater, is substantially reduced when fathers contribute more to housework and childcare.'

Marriages in which the father stayed at home and took responsibility for the childcare and chores were as stable as those which followed traditional gender roles.

The finding, claimed Dr Sigle-Rushton, exploded the theory that marriages work best when comprised of a stay-at-home mother and a working father.

She added: 'The structure of the labour market, rates of female labour market participation, rates of divorce, and expectations about men's and women's gender roles have all changed considerably since 1975.

'But this study underscores the importance of taking into account relationships between men's behaviour and marital stability.'

Latest figures show that single women put seven hours into housework, while wives and live-in girlfriends do more than 12 hours every week. Men, however, only put in four or five hours a week.

http://www.dailymail.co.uk/news/article-1278137/Divorce-likely-husband-helps-housework.html



Sememangnya sekali membaca tajuk di atas ini, saya seperti bias terhadap diri sendiri ‘memang betul pun, takkan asyik semuanya orang perempuan yang kena buat’ detik hati yang ber’penyakit’. Memang seronok rasanya kalau ada pihak yang menyokong detik hati jahat ini.

Walaubagaimanapun, ada kebenaran dengan apa yang dikaji dan dipaparkan oleh tulisan di atas. Zaman ini menyaksikan seperti sudah satu kemestian seorang wanita, isteri dan ibu turut keluar untuk membantu mencari rezeki bagi menampung keperluan keluarga. Sebenarnya isu isteri turut membantu suami dalam urusan mencari rezeki bukanlah suatu perkara yang baru, ianya sudah diamalkan sejak puluhan tahun dahulu. Isteri-isteri pada zaman ibubapa hatta nenek-datuk kita pun turut turun membanting tulang untuk memenuhi keperluan hidup berkeluarga. Cuma bezanya, dahulu mereka bekerja tidak ada waktu-waktu tertentu atau secara formal seperti kita sekarang dan yang nyata….bayarannya kalau ada tidak selumayan sekarang!

Justeru, saya selalu melihat persetujuan suami membenarkan isteri turut bekerja untuk mencari rezeki sebagai suatu kesepakatan di dalam sebuah institusi keluarga. Si suami sepatutnya melihat kesanggupan seorang isteri menggalas tugas tambahan ini selain dari mengurus rumahtangga dan suami sebagai satu bonus. Seorang isteri pula melihat keizinan suami membenarkan bekerja sebagai satu pengorbanan suami untuk mendapat layanan yang sempurna dari seorang isteri. Andai kesepakatan seumpama ini dapat dicapai, seharusnya semua urusan keluarga diurus bersama-sama oleh suami isteri dari sekecil-kecilnya sehinggalah urusan besar.

Si suami tidak seharusnya berat tulang membantu isteri dalam urusan rumahtangga dan anak-anak apatah lagi sekiranya tiada pembantu rumah. Suami juga tidak seharusnya minta dilayani seperti seorang raja sekembali dari bekerja…seperti kajian di atas…singsinglah baju, bantulah isteri…itulah kebahagiaan untuk si isteri!

Bagi isteri pula, keizinan bekerja dari suami seharusnya di gunakan untuk benar-benar membantu suami memenuhi keperluan keluarga dan anak-anak. Bantulah suami meringankan beban kewangan. Hindarkan diri dari berbelanja untuk kepentingan diri sendiri…walaupun suami tiada hak keatas pendapatan isteri, namun isteri tetap mempunyai ‘hutang’ keizinan dari suami.

Jika suami isteri benar-benar memeterai kesepakatan, sepatutnya tidak timbul isu ego atau ketidaksehaluan dalam urusan rumahtangga. Biarpun mungkin si isteri berpangkat atau berpendapatan lebih tinggi dari suami, kesepakatan yang termeterai tadi menjadikan dia seorang isteri dan ibu yang bertanggungjawab ke atas keluarga. Dia tidak akan merendah-rendahkan keupayaan suami. Sikapnya tidak akan menjadikan suami merasa tercabar dengan kedudukannya. Suami juga tidak seharusnya tercabar dengan kedudukan isteri. Rumahtangga bagi mereka adalah sebuah institusi yang berlainan dengan tempat dan tugas kerja mereka.

Kesepakatan tersebut pula akan lebih kukuh sekiranya disandarkan kepada lunas-lunas Islam. Islam meletakkan tanggungjawab memimpin sebuah keluarga ke atas suami. Dengan ini suami seharusnya melaksanakan tanggungjawabnya yang berat itu dengan sebaik mungkin. Suami perlu melengkapi dirinya dari aspek jasmani, rohani, ilmi dan emosi untuk memimpin sebuah keluarga yang bahagia dan berjaya dalam hidup di dunia dan akhirat. Tidak ketinggalan isteri juga harus bersedia melengkapi diri untuk melaksanakan tugasnya sebagai isteri dan ibu yang dedikasi mendidik anak-anak. Kesepakatan ini, insya Allah akan merealisasikan baiti jannati!